Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenang Kejayaan Koran di Masa Lalu

Medianers ~ Berdasarkan Informasi Hilman Fajrian, Direktur Pengembangan Bisnis Koran Kaltim di akun media sosialnya, bahwa media cetak di bawah naungan MNC group seperti Koran Sindo daerah, majalah Genie, dan Mom & Kiddie akhir Juni 2017 akan tutup usia dan menghentikan operasionalnya, kecuali Koran Sindo Nasional dan Sindonews. 

Informasi itu ia dapatkan dari cuitan akun twitter@ulinsyusron, bahwa, "kabar duka, per akhir Juni media cetak di bawah MNC gulung tikar: Genie, Mom & Kiddie dan High End. Revolusi digital terus menggilas cetak," jelasnya.

Masih di tanggal 5 Juni 2017, Ulin Yusron kembali ngetweet, "majalah Hai yang legendaris sejak 1977 juga memutuskan bulan ini hanya terbit versi digital saja. Musim gugur media cetak perlu diwaspadai," ungkapnya.

Hilman Fajrian selaku direktur pengembangan bisnis Koran Kaltim, sekaligus wartawan senior konsen mengupas seputar "senjakala" media cetak tanah air di internet termasuk orang yang suka penulis buntuti tulisannya. Termasuk Ulin Yusron, aktivis media sosial dari Jogjakarta yang dikenal dekat dengan Jokowi dan Ahok. Konon kabar sekarang aktivitasnya sering di Jakarta terlihat prihatin akan kondisi "gulung tikarnya" media cetak tanah air.

Awal tahun 2016, Koran legendaris yang telah beroperasional selama 54 tahun yaitu Sinar Harapan, duluan tutup usia. Bahkan, wartawan senior Kompas, Bre Redana mengungkapkan kekhawatirannya melalui tulisan berjudul, " Inikah Senjakala Kami." Tulisannya masih bisa dibaca di Kompas Print.

Kejayaan Koran Di Masa Lalu

Ketika penulis masih duduk dibangku kelas 6 Sekolah Dasar (SD) sekitar tahun 1995, penulis mulai membantu Almarhum Abak ( Baca : Ayah) di Pasar Sungai-Geringging, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat berjualan obat, jamu dan kosmetik  di Toko Sumber Jaya.

Di Toko Obat Sumber Jaya, penulis mulai mengenal dan membaca Koran. Masa itu, Abak berlangganan Koran Canang dan Haluan. Memasuki tahun 2000-an, beralih berlangganan Padang Ekspress (Padek) dan sesekali sebagai  selingan Koran Singgallang.

Awal mula tertarik membaca Koran, karena melihat Abak begitu menikmati informasi yang ada, sebagai bahan diskusi dan debat dengan teman dan karib-kerabatnya. Seperti dengan Pak Jamaik Kapue misalnya. Setelah membaca berita, lalu mereka mulai mengomentari kebijakan pemerintahan dan perpolitikan tanah air. Mereka pun mengutip kalimat tokoh di Koran sebagai referensi bahan debatnya.

Di rumah pun demikian, kala toko telah tutup koran di bawa pulang. Jelang tidur atau pagi koran pun ia baca lagi. Kadang Abak pun bercerita di rumah, selalu memberikan informasi up to date berdasarkan data di Koran yang ia baca.

Demikian juga dengan almarhum Pak Camat Sungai Geringging, Helmi Chandra, sehabis maghrib kalau tidak ada acara penting diluar tugas pokoknya. Ia pasti 'nongkrong' membaca koran di Toko Obat Sumber Jaya. Penulis pun mengamati, Koran yang dibeli Abak jadi antrian oleh pelanggannya, sambil beli obat baca koran dulu. Lalu, berdiskusi.

Hal itu pulalah yang membuat penulis tertarik membaca Koran masa itu, bahkan daya tariknya melebihi dari membaca buku pelajaran sekolah. 

Saat mengecap pelajaran di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 1 Sungai- Geringging (Tahun 1998), manakala guru pelajaran Bahasa Indonesia memberi tugas membuat karangan bebas. Penulis sangat antusias mengerjakannya dari pada pelajaran Fisika atau Matematika. Hal tersebut karena didasari oleh terpapar dengan bacaan cerpen yang ada di koran.

Bahagia Ketika Tulisan Terbit Di Koran

Setelah memasuki usia remaja, penulis berada di Sekolah Lanjutan Tingkatan Atas (SLTA) tahun 1998. Kegiatan membaca koran mulai berubah, lebih senang membaca berita olah raga, tajuk rencana dan rubrik opini.

Kadang-kadang penulis tertawa dan terhibur membaca tulisan Almarhum Wisran Hadi, ia sastrawan, budayawan sekaligus seniman dan penulis hebat yang pernah dimiliki ranah Minang Kabau.

Prestasinya banyak, seperti tahun 2000 mendapat penghargaan sebagai Sastrawan terbaik Indonesia oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dan di tahun yang sama ia juga dapat penghargaan internasional sebagai South East Asia (SEA) Write Award.

Serta penghargaan bergengsi lainnya banyak yang telah ia capai dibidang sastra. Tapi yang paling penting, ia penulis tetap di Koran Padang Ekspress dan Singgalang. 

Ciri khas tulisan Wisran Hadi adalah mengaitkan serta menyentil fenomena kekinian, peristiwa sosial politik dengan bahasa sederhana (logat Minang Kabau) dan tokoh ceritanya 'Sabai' dan 'Mangkutak' selalu berinteraksi, bila dibaca kadang kocak dan paling penting ada pesan moral yang disampaikan.

Keseringan membaca koran dari pada membaca buku pelajaran. Sempat muncul pertanyaan masa itu, "kapan tulisan saya bisa dibaca orang, seperti penulis yang tertera namanya di koran?" demikian pertanyaan berkelabat dipikiran.

Maknanya, karena kebanyakan membaca akhirnya ada hasrat pula untuk menulis. Masa itu, penulis tidak tau bagaimana caranya, dan seperti apa cara memulai agar tulisan bisa tampil di Koran. Dan paling penting penulis tidak bercita-cita jadi wartawan, tapi menginginkan bagaimana bisa tulisan terbit di Koran dan dibaca banyak orang.

Seiring berjalannya waktu, penulis berhasil menamatkan SLTA empat tahun, sementara teman lainnya hanya 3 tahun. Suatu prestasi yang membanggakan, karena disayang oleh guru, sehingga guru kelas keberatan agar penulis lekas tamat. Hal demikian pernah diungkapkan Uda Alizur. Ia kakak nomor 4.

" Si Anton Ko, Guru e sayang ka inyo. Urang 3 tahun sekolah di SMA-nyo. Nan inyo ampek tahun. (Indonesia: Si Anton ini, gurunya sayang sama dia. Orang lain 3 tahun menamatkan sekolah SLTA, sedangkan dia 4 tahun," ucap Uda Al, pada setiap orang yang akan menanya penulis mau kuliah dimana.

Hal demikian ia ungkapkan pada banyak orang sebagai bentuk kekecewaannya pada penulis. Tapi, semasa duduk di kelas 3 IPS, saat pelajaran Sosiologi dan Antropologi, guru bidang studi pun tergeleng-geleng kepala, karena penulis berani menyampaikan pendapat, berdiskusi, bahkan membantah kalau guru menjelaskan tidak sesuai referensi.

Sebab, bahan ajar yang ia bacakan di kelas, telah penulis lahap sebelumnya di rumah, melalui buku dan referensi dipinjam di pustaka sekolah, termasuk informasi Koran. Hebatnya, guru bidang studi Sosiologi, sekaligus sebagai wali kelas, penulis memanggilnya Pak Rusdi memuji, dan sering menyatakan di depan kelas, bahkan saat upacara bendera. 

Ia berkata: "Contoh Anton Wijaya, dari tinggal kelas bisa juara," ucapnya. Entah memuji, atau menyindir agar lebih giat belajar, yang jelas masa itu, penulis telah membuktikan saat menempuh 2 tahun di kelas 1 adalah masa kelam, yang banyak dengan kenakalan.

Hal itu pulalah yang membuat penulis tidak bisa mewujudkan keinginan untuk bisa menulis di Koran, karena tidak ada yang membimbing serta mengarahkan. Padahal, keinginan kala itu sangat luar biasa. Ingin jadi penulis.

Tulisan Terbit Di Koran Terwujud

Empat tahun sudah di SLTA, penulis tidak tau mau melanjutkan kuliah dimana. Ada keinginan untuk masuk di jurusan seni rupa, namun tidak mendapat dukungan, telah penulis ungkapkan di postingan ini.

Singkat cerita, penulis mengikuti keinginan Uda Alizur untuk melanjutkan kuliah di Akademi Keperawatan (Akper) sebetulnya jadi Perawat bukanlah cita-cita penulis. Namun, terbukti apa yang dianjurkan Uda Alizur, bahwa jadi Perawat pembuka jalan bagi penulis untuk bisa menembus kesuksesan dan sebagai bonus tulisan bisa masuk di Koran. Seperti gambar di bawah ini buktinya:
Kliping-tulisan-anton-wijaya-di-koran
Tulisan Anton Wijaya di Singgalang
Dan Tabloid Ners
Padahal selama 3 tahun kuliah di Akper Pemkab Padang Pariaman, penulis tidak lagi membaca koran, tapi lebih banyak membaca buku Anatomi dan Fisiologi manusia serta konsep dan teori Keperawatan.

Namun setelah tamat dan bekerja di RSUD dr Adnaan WD Payakumbuh, pertengahan maret 2007. Penulis memulai kebiasaan membaca Koran lagi di Kantin belakang Rumah Sakit dekat VIP lama.

Berhubung berdomisili di Payakumbuh maka tulisan Fajar Rillah Vesky yang paling banyak penulis baca. Ia wartawan Padang Ekspress, bahkan tahun ini (2017) ia salah dua anggota AJI Sumatera Barat lulus Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) tingkat pertama.

Cara penulisan Fajar Rillah Vesky menurut penulis sangat menarik, berita biasa, bisa ia sampaikan jadi luar biasa. Dan, ia pulalah menjadi inspirator bagi penulis untuk belajar menulis.

Tahun 2008, penulis memberanikan diri membuat konsep tulisan, lalu dikirim ke alamat email rubrik Opini Padang Ekspress. Hasilnya 'nihil' tidak direspon, lalu kirim lagi tulisan kedua. Hasilnya nol besar. Tulisan tak kunjung terbit. Penulis pun berpikir, ada yang salah dengan tulisan tersebut.

Penulis mencari buku bacaan bagaimana caranya agar bisa tulisan terbit di Koran, termasuk mencari informasi di internet. Alhasil, dari banyak tips yang ada, cara belajar menulis itu adalah praktek.

Maknanya, jika ingin pandai menulis, maka menulislah sekarang juga, jangan malu, jangan takut tulisan tidak dibaca orang, lakukan dan terus latih kemampuan, dengan sendirinya, secara alami akan dapat pembelajaran dari praktek menulis tersebut. Kira-kira demikianlah cara menulis yang dapat penulis ambil kesimpulannya.

Maka lahirlah blog ini, Medianers (http://medianers.blogspot.com). Sebagai media tempat latihan menulis. Ternyata tips itu ampuh, berkat tulisan di Medianers ini pulalah akhirnya tulisan penulis terbit di Koran Singgallang dan di Tabloid Ners. Sedangkan di Padang Ekspress tulisan berbentuk release tentang pemberitaan RSUD dr Adnaan WD.

Ihwal terbit di Singgalang, saat study banding RSUD dr Adnaan WD ke RSMH Palembang, kala itu penulis 'goreskan' ceritanya di blog ini, lalu terbaca oleh Orion Ali, Direktur Umum dan Keuangan RSUD dr Adnaan WD dan ia minta izin, "bagaimana kalau tulisan Anton tentang ke Palembang itu diterbitkan di Koran," katanya masa itu (Tahun 2010).

"Tidak masalah pak, tapi bagaimana caranya," tanya penulis balik. Sebab pesimis mengirim tulisan di Koran. " Tenang saja, besok akan kita kirim ke Koran Singgalang," jawabnya.

Memang betul, esok hari keluarlah tulisan itu di koran Singgallang dengan judul " Kunjungan Ke RSMH Palembang, Perkuat Silaturahmi Dengan Olah Raga." Namun, nama penulisnya tidak ada, hanya kode angka dalam kurung. Setelah penulis cari tau, rupanya diterbitkan melalui wartawan senior. Saat ini menjabat sebagai anggota DPRD Payakumbuh, ia Edwar DF.
Kliping-koran-singgallang-anton-wijaya
Tulisan Anton Wijaya di Singgallang
Pada suatu kesempatan, penulis bertemu dengannya, lalu penulis memperkenalkan diri dan katakan bahwa, "tulisan tentang kunjungan RSMH Palembang itu adalah tulisan saya pak, kenapa tidak dibuatkan nama Saya," ujar penulis.

Lalu ia menyatakan tidak tau siapa penulisnya, makanya diberi kode berupa angka saja. Lalu ia menawarkan, masih ada lagi tulisan yang ingin dikirim? Penulis jawab ada, singkat cerita diterbitkan lagi tulisan penulis hampir setengah halaman, bedanya ada nama Anton Wijaya.

Kemudian penulis pun rajin mengirim tulisan ke kolom "Liek Galamai" yang diasuh Edward DF. Alhamdullilah , setiap tulisan yang dikirim selalu diterbitkan. Rasanya sungguh bahagia, dan senang tulisan bisa muncul di surat kabar.

Apalagi bisa dibaca banyak orang. Rasa gembira itu, penulis abadikan jadi kliping, sebagai bukti bahwa apa yang diinginkan waktu kecil, akhirnya terwujud juga.

Tidak Berminat Lagi Mengirim Tulisan Di Koran

Media cetak tahun 2010 di Sumatera Barat masih laris manis, termasuk di Indonesia, meskipun ada portal online dan media daring belumlah tenar dan jadi pilihan masyarakat seperti sekarang ini. Kendati demikian, penulis tidak lagi tertarik mengirim tulisan di Koran, tapi tertantang menulis di Kompasiana, media warga yang dikelola oleh kompas.com.

Singkat cerita, sambil mengelola blog medianers, penulis pun menulis di Kompasiana. Alhamdulillah dari 50 artikel yang penulis publikasikan di Kompasiana, 7 kali headline, 31 masuk kategori pilihan.

Paling membahagiakan adalah ketika tulisan di labeli 'headline' merupakan semacam reward dari Admin kepada penulis. Rasanya, belajar menulis di Kompasiana cukup, dan saat ini penulis fokus mengelola blog personal serta membuat, mengembangkan portal online dengan beberapa orang teman di nersumbar.com

Mulai nyata apa yang diungkapkan Bre Redana, mencuat kepermukaan ulasan Hilman Fajrian bahwa kejayaan koran dan media cetak bagaikan, "telur di ujung tanduk," katanya.

Pengamatan penulis, media cetak dahulunya sukar didekati, kini mulai menyadari bahwa dunia digital nyaris telah melumpuhkan nama besarnya, Koran tidak lagi spesial manakala tidak segera hijrah ke media daring.

Dewasa ini, orang tidak lagi mencari informasi, tapi dicari informasi asalkan memiliki akun media sosial. Peluang itu pulalah yang menggilas media cetak, karena pengiklan cendrung memasang 'brand'-nya di media daring.

Lebih tertarget, dan jangkauannya pun luas. Dan, koran tanpa iklan bagaikan, 'makan sayur tanpa garam' dengan apa biaya operasional percetakan dibiayai? dengan apa wartawan digaji? Akhirnya, satu persatu media cetak bertumbangan digilas kejamnya kemajuan teknologi.(AntonWijaya)