Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dilema Trauma Tumpul Abdomen

Medianers ~ Bruuk..diiringi pekikkan anak-anak. Astagfirullahaladzim sembari tergopoh-gopoh Sutan turun dari mobilnya, ia langsung lari kebelakang. Sungguh terkejut ia menyaksikan, perut dan sebagian tulang punggung putra kesayangannya berusia 5 tahun tergilas oleh ban mobil belakang bagian kiri.

Seakan membelah bumi jeritan putranya menahan kesakitan. "Aduh" bergegas sambil memeluk anaknya. Sutan merasa bersalah telah melindas perut anaknya saat mengeluarkan mobil dari garasi. " Apa yang sakit nak? " tanyanya penuh khawatir.

Putranya tak henti menangis, sambil memegang perut. Lalu Sutan pun membuka baju Parmato, Putra semata wayangnya yang bernama lengkap Parmato hati, buah perkawinannya dengan Siti Linduang Bulan, (35). Parmato merupakan anak satu-satunya setelah 5 tahun menikah.

Sutan tersedu-sedan menahan isak tangis. Sutan melihat warna biru dirusuk parmato serta goresan jejak ban di bagian perut. Siti linduang bulan yang sedang memasak histeris berlari keluar mendengar suara keributan. Ketiganya pun meraung-raung panik terhadap kondisi demikian.

Bawo capek ka tukang uruik ( Bawa cepat ke tukang urut) ucap kakek Parmato kepada Sutan. Namun, disanggah oleh Mak Uncu ( Paman) " Ke rumah sakit sajalah." Saran adik ipar Sutan.

Kekalutan, kepanikan serta pertengkaran dan saling menyalahkan pun terjadi. Siti tidak tahan melihat keadaan Parmato, langsung marah pada suaminya. Sutan merasa terpojok, lalu membalas dengan amarah. Akhirnya ditanggapi bijaksana oleh mak uncu.

"Bang Sutan, sudah jangan bertengkar, terserahlah mau dibawa kemana, segera keluarkan mobilnya, kita bawa Parmato berobat." Tegas Mak uncu.

Di jalan, di atas mobil, mereka masih saja bertengkar, terkait kemana Parmato mau dibawa, setelah dilakukan voting hanya mak uncu bersikeras ingin membawa ke rumah sakit. Selebihnya menginginkan ke dukun tukang urut. Sementara Parmato tidak lagi bersuara, ia terkulai lemas di pangkuan ibunya, Siti.

Sutan membawa mobil sempoyongan, nyaris menabrak becak dipertigaan menjelang pasar pusat keramaian. Kakek pun jantungan sambil memegang dada seakan mau copot akibat Sutan tidak stabil mengemudikan "gerobak jepang" itu.

Yah, Sutan baru saja pandai membawa mobil, karena ia baru saja menjual tanah pusaka di kampung halamannya, jadi ia dapat mobil baru dari hasil jualan harta pusaka tersebut. Dua minggu belajar mengemudi, belum 100 persen membuatnya mahir, termasuk saat mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya.

Parmato saat itu, sedang asyik main tablet yang baru saja dibelikan kakeknya. Sambil tidur-tiduran di bawah mobil baru ayahnya, ia menonton film Upin dan Ipin pakai hands free , jadi ketika mesin mobil hidup parmato tidak menyadarinya, demikian pula Sutan tidak menyangka bahwa anak kesayangannya itu tidur-tiduran di bawah mobil.

Cemas, panik, merasa bersalah, berkecamuk dipikiran Sutan, badannya seakan melayang-layang, fokusnya membawa mobil sangat terganggu. Namun, ia berhasil juga sampai di rumah Inyiak Sati, tukang urut terkenal di Kampung Ateh Awan, yang mana jarak rumah tukang urut dengan rumah sutan sekitar 6 Km.

Parmato digendong oleh Siti, sambil mengucapkan salam, Siti menerobos antrian di tempat praktek Inyiak Sati. Sembari menjelaskan keadaan yang dialami Parmato.

Inyiak Sati membakar kemenyan, sambil komat-kamit lalu menggeleng-geleng dan berkata, "Ini diluar kendali saya, roh jahat telah menyertainya, saya bisa mengusir roh halus tersebut, tapi tidak bisa memulihkan kondisi anakmu yang lemas tak berdaya ini. Sebaiknya kamu bawa kerumah sakit agar di infus." Ucap Inyiak Sati.

Lalu Inyiak Sati menyembur kepala Parmato dengan air mawar, serta mengusap perut dan punggungnya. "Ayo lari kan segera ke rumah sakit." Pinta Inyiak Sati pada keluarga Parmato.

Waktu telah berjalan, kurang lebih 4 Jam. Kondisi Parmato semakin lemas, ia tidak lagi menyahut saat dipanggil, perutnya terlihat membesar dibanding sebelumnya, bibir parmato mulai membiru, mata layu, tangan dan kaki terasa dingin.

Siti terisak-isak menangis, "Parmato ! Parmato ! Bangun nak. Ibu sayang kamu nak." Ungkap Siti. Sementara, Sutan kesetanan melarikan mobil barunya, klakson panjang ia nyanyikan, lampu mobil pun menyala, Mak Uncu melambai-lambaikan tangan meminta pengemudi lain untuk minggir. Mata Sutan merah, cairan dihidungnya keluar sederas air matanya mengalir membasahi baju kaus yang ia kenakan.

Di depan IGD Rumah Sakit Suka Sehat, hampir saja tertabrak mobil ambulance oleh Sutan, saking ngebutnya mengemudikan mobil. Kitttttt...ban belakang mobil tergelincir serta meninggalkan bekas dilantai depan IGD. Petugas yang ada dalam IGD terkejut, juga satpam dan brankarman (petugas penerima dan pengantar pasien) yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu IGD.

"Pak.. pak..cepat bantu anak saya" Ucap Sutan pada satpam dan brankarman. Seketika Parmato dibawa segera kedalam, dan diperiksa tekanan darah, nadi dan pernafasan Parmato oleh Perawat, lalu dipasangkan selang oksigen dihidungnya.

Dokter jaga, meresepkan therapy cairan, kemudian Perawat dengan sigap memasangkannya di lengan bawah kiri Parmato. Dokter jaga pun menelpon konsulen, yakni dokter ahli bedah. Konsultasi yang disampaikan dokter jaga ini, berdasarkan data kekinian serta hasil anamnesis kondisi Parmato saat masuk IGD.

Sesaat, dokter bedah pun tiba di IGD, lalu memeriksa Parmato yang terkapar tidak berdaya di atas tempat tidur. Dokter bedah berkesimpulan dan mendiagnosa Parmato mengalami trauma tumpul abdomen, karena kronologis kejadian jelas, serta terlihat tanda-tanda jejas (membiru) dirusuk kanan serta bagian perut. Kemudian, terlihat tanda-tanda terjadi perdarahan di dalam perut, yang mana bibir parmato pucat, terlihat lemas, kesadaran mulai menurun, tidak merespon dipanggil serta perut tegang dan membesar. Kemungkinan organ bagian dalam ada yang robek, sehingga terjadi perdarahan yang tidak terlihat secara kasat mata. Tindakan pengobatannya adalah perdarahan harus dihentikan agar parmato tidak kehilangan darah yang bisa berakibat kematian.

Kondisi demikian dijelaskan oleh dokter bedah kepada Sutan dan Siti serta didengarkan pula oleh Mak Uncu. Keputusan harus segera mereka ambil, satu-satunya tindakan medis adalah dilakukan operasi segera. Kemungkinan terburuk dari tindakan tersebut adalah Parmato tidak akan selamat meskipun telah dilakukan tindakan pertolongan di kamar operasi, kalaupun tidak di operasi, secara ilmu medis, Parmato juga tidak akan selamat, sebab telah banyak kehilangan darah. Dengan kata lain, ditolong bisa mati, dan jika tidak ditolong juga akan meninggal.

Mendengar kenyataan pahit demikian, Sutan menolak untuk dilakukan operasi, termasuk sang kakek, ia masih menawar untuk diberikan obat saja, sebab Parmato tidak lagi terlihat kesakitan, meringis dan menangis, ia seperti mau tidur. Sementara Siti menangis sejadi-jadinya, ia tidak ingin kehilangan putra semata wayangnya. Sedangkan Mak Uncu terlihat tenang dan cendrung menyetujui untuk dilakukan tindakan pembedahan.

Dokter bedah meminta jika setuju maka wajib membuat pernyataan persetujuan tindakan operasi, atau jika menolak juga wajib menanda tangani surat pernyataan menolak untuk dilakukan tindakan pembedahan, karena itu bagian dari prosedur tetap (protap) Rumah Sakit yang wajib dijalani tanpa kecuali, mengingat tuntutan di kemudian hari.

Keputusan ini cukup pelik diputuskan oleh Sutan, Siti, dan pihak keluarga, sementara kondisi Parmato semakin turun drastis. Waktu berjalan sudah 1 jam lebih, namun tidak ada kepastian. Akhirnya, petugas IGD mengkonfirmasi pada keluarga, bagaimana keputusannya?

Kejadian sangat dilematis, dalam kondisi panik, keluarga wajib memberi keputusan, demikian pula petugas kesehatan wajib mendapat kepastian, jika tidak, banyak isu yang akan berkembang jika pihak keluarga telat memberi pernyataan, sewaktu-waktu terdapat kejadian yang tidak diinginkan. Dimata hukum hanya butuh bukti otentik. Petugas kesehatan pastinya tidak ingin pula melakukan hal sia-sia karena niat tulus menolong, tanpa surat keterangan/ pernyataan bisa berakhir penjara.

Alhasil, Mak Uncu mengambil keputusan dan siap mengambil alih tanggung jawab dengan menanda tangani surat pernyataan. Apapun yang terjadi, ia siap menanggung segala resiko meskipun Sutan tidak bisa memberi keputusan, karena ia tidak tahan melihat keponakannya terkapar tanpa dilakukan tindakan yang bisa menyelamatkan dari kematian. Karena ia berprinsip lebih baik meninggal, tapi telah tolong maksimal, dari pada menyaksikan kematian tanpa bantuan.(Lanjutan Kisah  Dilema Trauma Tumpul Abdimen)(AW)