Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Perawat di gaji dua puluh ribu

Medianers ~ Dengan honor tenaga sukarelawan (Sukwan) dua puluh ribu aku tidaklah bersedih hati. Meski uang itu hanya cukup untuk ongkos pulang-pergi 8 kali Pangandaran-Banjarsari tapi bukan itu tujuan finansial yang dicari. 

Menghilangkan jejak nganggur setelah kuliah adalah satu satunya. Aku merasa malu telah mengenyam pendidikan tinggi tapi belum bisa memberikan manfaat akan ilmu yang didapat.

Ada hal yang membuat hatiku dan kedua orang tuaku bahagia tatkala memakai baju seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) Puskesmas.

‘’Dinas di mana sekarang pak dokter?’’ seorang tetangga nanya. ‘’Di Puskesmas Pangandaran, Bu.’’ ‘’Alhamdulillah ya, langsung ditempatkan kalau lulusan AKPER.’’

Aku hanya tersenyum kuning saja menghargai pernyataannya. Masyarakat awam acapkali memanggil dokter kepada perawat. Anggapan perawat yang begitu lulus langsung menjadi PNS adalah benar, tapi itu periode di bawah tahun 1990 ketika Indonesia masih kekurangan tenaga kesehatan. Aku lulus 2001 jadi tenaga kesehatan sudah membludak.

Sekarang tiap kabupaten ada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) yang mencetak sekitar 40-80 lulusan tiap tahunnya. Ledakan jumlah tenaga kesehatan akhir-akhir ini tidak sebanding dengan lowongan kerja baik di instansi pemerintah maupun swasta.

Jadi jangan salah banyak juga lulusan yang kesulitan di dalam mencari pekerjaan. Aku termasuk di antara ribuan orang yang sulit mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Berbeda dengan jaman dahulu. Begitu wisuda, Surat penempatan Kerja (SK) sudah ditangan.

Sempat aku nelpon pacarku seorang bidan yang waktu itu masih kuliah di Cilolohan. ‘’Aa, berapa gaji jadi Sukwan di Puskesmas?’’

‘’Kenapa emangnya bertanya gaji?’’ ‘’Soalnya kata mamah aku, kalau mau serius berkeluarga minimal Aa sudah kerja mapan dulu.’’

Mendengar pertanyaannya aku merasa jengkel karena menanyakan berapa penghasilan. Esoknya, aku langsung melayangkan surat putus. Belum juga apa-apa sudah bertanya gaji. Sudah tahu kondisiku lagi dalam kesusahan. Mungkin bukan jodoh.

Sebelum aku diberikan kepercayaan untuk mengurusi rumah dinas dokter, hampir tiap hari PP ke Banjarsari. Berhubung mengenakan seragam dinas, jadi ongkos bis waktu itu Rp.2500,- sejalan. Jadi lima ribu perak bulak-balik. Belum uang makan. Walhasil, aku masih nombok.

Kadang-kadang sepulang dinas ada masyarakat setempat yang memanggilku untuk mengobati orang sakit. Rata-rata diagnosa yang kuberikan tepat sasaran dan obatnya pun mujarab. Merasa cocok, masyarakat meminta supaya membuat Balai Pengobatan di kampung.

Suatu hari sepulang kerja kunaiki Suzuki Tornado pemberian ayah. Kutancap gas dengan kecepatan 80 km/jam. Tepat di daerah Padaherang ada pertigaan ke arah kanan dari jalan raya. Sebuah mobil Jeep di depanku tiba-tiba belok. Padahal lampu sen dan klakson kunyalakan isyarat mau nyalip. Motorku hilang kendali dan menabrak pintu mobil bagian kanan. Kontan aku terlontar ke udara. Untungnya, aku mengenakan helm.

Orang-orang yang melihat sekitar kejadian langsung berdatangan menolong korban. Alhamdulillah aku masih sadar penuh. Aku berdiri dan memaki-maki sopir Jeep itu.

‘’Kenapa kamu belok nggak ngasih lampu sens?’’

‘’Tadi saya melambai-lambaikan tangan ke sebelah kanan.’’ si sopir berkelit.

‘’Saya enggak lihat tangan kamu melambai-lambai.’’

Masyarakat segera melerai kami. Mobil diamankan ke tepi jalan. Motor bagian depan hancur. Stang motor bengkok dan step kaki melenceng ke arah dalam. Kami berdua didamaikan di sebuah warung.

‘’Sudahlah damai saja. Urusan jangan dibawa ke polisi. Kebetulan ini ada Pak Lurah.’’ seorang penduduk mencoba untuk menjadi mediator.

‘’Kira-kira berapa biaya perbaikan motor semuanya?’’ tanya Lurah.

‘’Sekitar 200 ribu.’’ celetuk orang di belakangku.

‘’Bagaimana kalau 100 ribu, sanggup bayar?’’ pak Lurah menoleh ke sopir.

‘’Saya nggak punya uang, ini saja 50 ribu.’’ dia memberikan uang ke pak Lurah.

‘’Wah, nggak cukup dong kalau segitu. Minimal 100 rebu!’’ Aku protes.

‘’Sudahlah, ini kan musibah. Siapa pun nggak ada yang mengharapkan tabrakan ini. Ayo berdamai.’’ Pak Lurah meminta kami berdamai.

Akhirnya kami bersalaman tangan. Motorku kustater dan berjalan perlahan. Setiba di Banjarsari, kedua pergelangan kakiku terasa senat-senut. Luka di telapak tangan terasa perih. Sampai di rumah, kuceritakan kejadianku pada nenek. Aku dari sejak kecil tinggal di rumah nenek-kakek.

Tak lama tukang urut dipanggil. Karena kakiku keseleo. Kurang lebih seminggu bolak-balik ke tukang urut. Biaya reparasi motor sekitar Rp.180 ribu. Belum biaya diurut. Uang lima puluh ribu tak mencukupi untuk mengkompensasi kerugian materiil dan mental.

Dengan langkah yang masih tertatih-tatih karena kecelakaan motor. Aku mengikuti tes seleksi CPNS. Sabtu pagi, para kandidat memadati stadium Galuh-Ciamis. Ada ribuan orang mengadu nasib untuk menjadi Pegawai Negeri.

Bersama teman-teman seangkatan bahkan ada yang lebih senior lagi berdatangan ke tempat itu. Semua soal tes kuselesaikan. Hasilnya akan diwartakan di setiap kantor Kecamatan.

Hari Senin, kubergegas ke kantor Kecamatan Banjarsari. Dengan penuh harapan kucari daftar nama satu persatu. Ternyata, nama Asep Hermawan Sanudin tidak masuk peserta yang lulus. Jadi aku gagal. Kulihat ada dua orang perempuan seangkatan kuliah ada di lis. Anehnya ujian hari Sabtu, hasil kelulusan sudah dipampangkan di semua Kecamatan hari Senin.

Aku tak tahu berapa passing grade kelulusan tes CPNS dan di lis itu tidak disebutkan berapa skor yang diraih dari orang-orang yang lulus. Mungkin belum saat ini aku bisa menjadi PNS. Di tempatku kerja, ada juga perawat yang sudah lama menjadi tenaga Sukwan lebih dari 3,5 tahun. Dia rela mengorbankan waktunya hanya berharap untuk diangkat menjadi PNS.

Tuntutan kerja di Puskesmas (PKM) tempatku kerja semakin ruwet. Aku disuruh masuk kerja shift. Awalnya rajin. Tapi berhubung aku sering ditugaskan untuk masuk sore dan malam aku jadi banyak mangkir. Badan letih. Sampai suatu saat Kepala PKM yang baru saja mutasi memanggilku ke ruangan kerjanya.

‘’Asep, saya denger kamu jarang masuk kerja ya?’’

‘’Kalau nggak mau lagi jadi tenaga Sukwan, silahkan keluar. Masih banyak kok yang mau.’’

Aku hanya terdiam saja karena belum ada batu loncatan yang lain. Allah Maha Adil dan Maha Pemberi Rezeki. Di tengah kegalauan itu aku dipanggil untuk wawancara di salah satu perusahaan Jasa Kesehatan untuk ditempatkan di tempat pertambangan. Aku lulus interview dan tes kesehatan. Sempat pulang dulu ke kampung halaman. Kontan aku membuat surat pengunduran diri dari tenaga Sukwan.

‘’Kenapa mau mengundurkan diri?’’ tanya dokter Kepala PKM.

‘’Saya sudah lulus wawancara. Senin depan saya ke Jakarta lagi mau training.’’

‘’Syukurlah. Jangan lupakan kami semua di sini. Ingat, kerja di perusahaan swasta berbeda dengan di sini. Kamu harus rajin dan disiplin.’’

‘’Baik, Dok. Makasih atas wejangannya.’’

Sepulang penugasan pertama di Papua. Aku mendapat cuti dan menyempatkan diri untuk datang ke PKM itu. Teman-teman seperjuangan Sukwan merasa kehilangan dengan kepergianku. Mereka senang melihat aku bisa terbang keluar Pulau Jawa. Kutunjukkan photo-photo di tempat kerja ke dokter yang pernah menyuruh saya keluar dan kuceritakan pengalaman selama bekerja di sana.

‘’Kamu hebat, Sep!’’ dokter itu berdecak kagum sambil membuka satu persatu albumku. ‘’Alhamdulillah Dok, berkat do’a semua.’’(H.Asep Hermawan Sanudin, AMK, SE, RN, NR-EMTB./asepsepta@gmail.com)