Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perawat Komoditas 'Manis' Lembaga Pendidikan Pelatihan dan EO


Medianers ~ Maret 2011, Aula Hotel Sahid Bukik Gadang, Kabupaten Sijunjung menjadi saksi bisu terjadinya pemilihan ketua PPNI Sumbar diiringi tangisan yang dramatis. Dari 19 DPD ( Dewan Perwakilan Daerah) Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang ada di Sumatera Barat, dan hadir 16 DPD, membulatkan suara untuk mencalonkan kembali pak Jasmarizal, yang sudah 2 priode memimpin PPNI Sumbar.

Kenapa pak Jasmarizal kembali yang dicalonkan oleh 16 DPD yang hadir pada masa itu? Inilah kisah dramatis yang penulis maksud. Sementara Pak Jasmarizal tidak ingin lagi dicalonkan, tetapi peserta bersikeras mengusung beliau kembali untuk jadi ketua PPNI Sumbar yang ketiga kalinya. Dan, pak Jas (panggilan sehari-hari) terisak-isak meneteskan air mata di mimbar pidato, untuk tidak lagi mencalonkannya, masa itu ia rekomendasikan pak Sunardi menggantikan dirinya ( Ketua PPNI Sumbar sekarang).
Terkait : Pemilihan Ketua Umum PPNI SUMBAR diringi kekecewaan dan tangisan
Mengapa 16 DPD yang hadir ngotot? Jawabnya karena rekam jejak dan loyalitas pak Jas terhadap anggota dan organisasi. Sejak tahun 2006 hingga 2010, ia sukses menyelenggarakan pelatihan gratis bagi anggota PPNI, bahkan peserta mendapatkan uang saku. Namun, PPNI yang ia urus tidak pernah dirugikan, malahan bisa menabung selama ia memimpin sebanyak 55 juta. Yang sebelumnya kas PPNI minus. Kenapa bisa demikian? Karena kepiawaiannya menjalankan roda organisasi dan lobi politik.

Pelatihan gratis tambah uang saku ini, pernah pula penulis rasakan 2 kali selama pak Jas memimpin, yaitu pelatihan PPGD dan Gladi Posko kesehatan, pelatihan tersebut diselenggarakan PPNI kerjasama Dinas Kesehatan Propinsi Sumbar, dan pendanaanya dari Kemenkes. Selaku anak muda jolong dewasa, penulis sangat terkesan dengan kemampuan pak Jas berorganisasi saat itu.

Masuk Era STR

Dewasa ini, Tenaga kesehatan dipusingkan oleh Surat Tanda Registrasi, terutama Perawat sebagai tenaga kesehatan terbanyak. STR ini tertuang dalam Permenkes RI Nomor 1796/MENKES/PER/VIII/2011. Tujuan STR ini lahir adalah untuk menjamin kompetensi seluruh tenaga kesehatan, kecuali dokter, dokter diatur oleh UU Kedokteran.

Untuk mendapatkan STR, sejak lahirnya Permenkes 1796 Tahun 2011 dilakukan pemutihan, karena sebelumnya ada SIP (Surat Izin Perawat) yang masih berlaku. Namun, tidak bagi mahasiswa keperawatan yang baru tamat, mereka dilakukan uji kompetensi, hingga saat ini masih terdapat sejumlah persoalan dalam mendapatkan STR. Tanpa STR mereka tidak dapat pekerjaan di pelayanan kesehatan sebagai Perawat Profesional, karena STR syarat mutlak yang digariskan peraturan mentri kesehatan.

Bagi yang telah mendapatkan STR, wajib mengumpulkan 25 SKP, sebagai syarat untuk memperpanjang STR berikutnya yang berlaku selama 5 tahun. 25 SKP ini bisa didapatkan melalui kegiatan ilmiah, baik menulis di jurnal ilmiah, maupun melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serta melalui kegiatan bakti sosial masyarakat yang nilai SKP-nya diakui oleh organisasi profesi atau oleh badan yang telah terakreditasi.

Lahirnya permenkes 1796 Tahun 2011, bukan atas kehendak PPNI, juga bukan dari organisasi profesi lain, tapi dari penyelenggara pemerintah. Sebenarnya, sejak lahirnya Undang-undang Keperawatan Tahun 2014, PPNI telah bisa keluar dari aturan Permenkes ini, namun turunan dari UU Keperawatan agar dibentuknya Konsil Keperawatan belum jua terealisasi, hal ini sedang diperjuangkan oleh pengurus PPNI pusat. Tujuan Konsil Keperawatan adalah  agar STR ini dikelola oleh Konsil Keperawatan bukan MTKI ( Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia), sebagaimana dokter, penerbitan STR-nya diatur oleh Konsil Kedokteran.

Era STR, Peluang 'Manis' Bagi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Profesi dan Event Organizer

Bak cendawan tumbuh subur sehabis hujan, demikian pula hadirnya lembaga pelatihan dan event organizer pasca lahirnya Permenkes 1796 Tahun 2011. Sebab permintaan meningkat. Mengikuti pendidikan dan pelatihan adalah cara mudah mendapatkan nilai SKP, peserta cukup datang, isi absen, ikuti proses, dan dapatkan sertifikat yang bernilai 1 hingga 2 SKP.

Namun kendalanya berat diongkos, karena hukum ekonomi berlaku, " apa bila permintaan pasar tinggi, maka harga pun melonjak naik." Pelaku bisnis pendidikan dan pelatihan ini juga insan kesehatan, khusus Perawat, yah Perawat juga pebisnisnya.

Bagi Perawat yang PNS, untuk mendapatkan 25 SKP selama 5 tahun, rasanya tidak terlalu berat, bahkan mereka bisa dapat melebihi itu. Terkait adanya, support dana dari instansi dan pemerintah daerah tempat ia bekerja. Namun, bagaimana dengan Perawat yang bekerja di klinik kecil atau Perawat suka rela di Puskesmas atau Perawat yang berstatus honorer di Rumah Sakit negri ?

Tentunya akan terasa berat memenuhi kuota SKP ini. Sementara untuk memperpanjang STR adalah kewajiban pribadi, bukan kewajiban instansi tempat mereka bekerja. Satu-satunya yang bisa memudahkan mereka adalah organisasi profesi, bilamana ia terdaftar sebagai anggota PPNI.

Di berbagai kota/ kabupaten di Indonesia pengurus PPNI sering mengadakan seminar atau workshop, tujuannya adalah memudahkan anggota mendapatkan SKP sebagai syarat memperpanjang STR. Dua kemungkinan bisa terjadi, pengurus PPNI bisa memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan kemungkinan kedua menyelenggarakan kegiatan ilmiah demi profesi, seperti halnya yang pernah dilakukan pak Jasmarizal, memudahkan anggota mendapatkan pelatihan gratis.

Dewasa ini, pantauan penulis, pelatihan gratis ini sangat sulit diwujudkan PPNI, karena tidak berminatnya sponsor jika kegiatan pelatihan yang diselenggarakan PPNI, sebab tidak menguntungkan bagi produk sponsor. Beda dengan yang diselenggarakan organisasi perawat khusus, seperti IPAI atau HIPKABI misalnya, sponsor yang datang menawarkan kegiatan ilmiah pada mereka.

Melihat kondisi ini, penulis prihatin pada sejawat yang sulit mengikuti pendidikan dan pelatihan murah. Sebagaimana yang pernah penulis posting juga di medianers. Penulis merindukan sosok Jasmarizal lahir di era STR ini, yang mampu berbuat pada profesi tanpa digadang-gadang atau di puja-puji di media sosial.

Masih terjadi pro dan kontra, bahwa lembaga pendidikan dan pelatihan harus dihargai mahal, sebagai bentuk memberi penghargaan kepada narasumber karena ilmu yang ia miliki. Padahal jika, cara berpikirnya di balik, kapan orang-orang berpendidikan dan memiliki nilai tinggi ini menghargai sejawatnya, juniornya yang tertatih-tatih ingin maju dan mendapatkan penghidupan layak di kesehatan. Sudah biaya kuliahnya mahal, ditambah lagi persoalan STR.

Pengurus PPNI dimanapun berada, sebagai leading sektor di dunia Keperawatan, penulis minta dengan kerendahan hati, selenggarakanlah pendidikan dan pelatihan murah bagi Perawat, meskipun tidak bisa menyelenggarakannya secara gratis, karena kurangnya minat sponsor mendanai.

Kemudian, lembaga pendidikan dan pelatihan serta EO yang hanya meraup keuntungan semata, segera warning dan pertanyakan akreditasi lembaga atau EO mereka demi kemajuan bersama. Jangan biarkan mereka menangguk di air keruh, menjadikan Perawat Komoditas 'manis' untuk mempertebal saku mereka. Sekian. (AntonWijaya)