Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjajakan Ijazah Demi Sebuah Pekerjaan

"Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun." Demikianlah, sebuah ungkapan cukup populer di ranah minang.

Jika diartikan secara luas, substansinya adalah, " seorang pemuda diminta merantau, keluar dari zona aman, karena di kampung ia belum berguna. Harapan setelah pulang merantau ia membawa manfaat untuk dirinya sendiri dan kampung halaman."

Merantau bagi orang minang bukan berarti mencari harta benda semata, akan tetapi lebih dari itu, yakni menimba ilmu, mencari pengalaman hidup, dan lain-lain. Di rantau orang, jika berleha-leha, maka terbuang tanpa arti. Atas dasar itu, anak muda minang di tuntut mandiri dan harus mampu bertahan demi sebuah kesuksesan. Di rantau, tempat yang tepat untuk menempa pemuda minang, agar merasakan pahit getirnya menjalani universitas kehidupan. Yang mana mengajarkan materi perkuliahan nan komplit dan lengkap.

Barangkali, itu pula pemikiran pak Mus saat meminta saya meninggalkan kampung dan berjuang hidup di rantau berbekal ijazah diploma 3. Argumen lain seperti, jika saya tetap menganggur di kampung, akan bisa jadi contoh buruk bagi generasi yang akan melanjutkan sekolah tinggi, sebagaimana yang pernah pak Mus ucapkan di " Ini Beban Berat Setelah Tamat Kuliah."

Saya tidak berkecil hati, tapi menjadikan kritikan tajam itu sebuah cambuk, bahwa saya harus berjuang, harus meninggalkan kampung mencari pekerjaan, agar suatu hari nanti bisa sukses. Berbekal ilmu keperawatan yang telah saya pelajari selama 3 tahun di kampus. Dengan mantap, saya siap berpetualang di kota "bertuah" Pekan Baru, Riau.

Pengalaman Menjajakan Ijazah ke Beberapa Rumah Sakit Swasta di Kota Pekan Baru, Riau

Di atas motor, teman saya Ed menjelaskan alamat dan nama-nama jalan yang dilalui, serta mengantarkan langsung ke beberapa Rumah Sakit swasta, seperti Rumah Sakit Awal Bros, Pekan Baru Medical Centre, RSIA Eria Bunda, RS. Tabrani Rab dan Rumah Sakit Yarsi.

Setiap memasukan lamaran ke bagian personalia Rumah sakit yang saya sebutkan di atas , ada sesuatu yang membuat saya pesimis untuk diterima, yakni ketika bagian personalia bertanya, " Apakah anda sudah punya pengalaman kerja? Dan, Apa keahlian khusus (bukti sertifikat) yang anda miliki?" Yah, pertanyaan itu saya jawab, " Saya baru saja menyelesaikan pendidikan, belum punya pengalaman kerja dan belum punya sertifikat keahlian khusus."

Meskipun demikian, lamaran saya tetap diterima." Silahkan surat lamaran anda ditinggal, sertakan nomor telpon yang bisa dihubungi, jika kami membutuhkan sewaktu-waktu, anda akan dipanggil untuk tes." Ucap mereka.

Menjelang menunggu kepastian, saya minta si Ed untuk membuatkan peta Kota Pekan Baru, cukup corat-coret di atas kertas. Sejak 2 hari belakangan ia telah mensosialisasikan jalur utama dan lokasi-lokasi penting di kota Pekan Baru. Saya juga menanyakan jenis angkutan apa yang harus di naiki jika mau ke pusat Kota dari Panam. Kebetulan saya masih numpang di rumah Ed yang terletak di pinggir kota (Panam).

Hari ketiga di Pekan Baru, saya mulai tidak enak sama Ed dan keluarganya, merasa membebani mereka, lalu berbekal punya sahabat lainnya di Kota Bertuah, saya mohon pamit untuk di antarkan ke pasar Kodim, yang kebetulan ia masih lajang dan berniaga di Ruko (Rumah Toko) di pasar Kodim.

Ed pun, mengantarkan saya setelah ia pulang dari kantor, sekitar pukul 18.00 wib. Saya pun bertemu teman lama. Sambutannya 'hangat' dan ia pun menawarkan untuk sementara tinggal bersamanya di Ruko. Dia adalah Yos. Semasa itu, Yos cukup sukses untuk ukuran anak muda. Sedangkan saya masih galau mencari kerja, sementara Yos sudah mampu menyewa Ruko tiga tingkat yang sesak dengan barang dagangan. Ia menyediakan semua keperluan barang harian. Lumayan besar, tidak lagi mengencer, tapi melayani kebutuhan pedagang eceran.

Pasar mulai lengang, sekitar pukul 21.00 wib. 2 orang anak buah Yos siap-siap mengemas barang dagangan, pintu ruko segera di tutup, dan Ed pamitan balik ke Panam, serta meninggalkan pesan pada saya, " Jika kamu ingin balik lagi ketempat saya, silahkan hubungi, akan saya jemput." Tutupnya, sambil pamitan.

Satu hari bersama Yos, saya mohon izin untuk berangkat ke Kota Dumai, mengingat surat lamaran yang saya bawa masih ada untuk 5 rumah sakit lagi. Yos pun mengantarkan saya ke Loket mobil Travel Pekan Baru - Dumai.

Berdasarkan informasi teman yang bekerja di Rumah Sakit Pertamina, Kota Dumai, " Mungkin akan ada penambahan tenaga Perawat, silahkan masukan lamarannya kesini." Atas dasar itu saya meninggalkan kota Pekan Baru untuk sementara waktu.

Dari pasar Suka Ramai, Bukit Kapur, pinggir kota Dumai, kebetulan kakak saya tinggal disitu. Ceritanya baca di sini. Saya pun menuju Kota Dumai dengan Ojek, jaraknya kira-kira 40 Km. Celakanya, tukang ojek tidak tau letak Rumah Sakit pertamina yang dituju. Setelah tanya-tanya di jalan, tukang ojek makin bingung. Sambil lewat, saya melihat ada Rumah Sakit Pelabuhan. Sudah capek putar-putar, tukang ojek saya ajak balik ke Bukit Kapur untuk menyiapkan lamaran ke Rumah Sakit Pelabuhan, dengan rencana besok kembali lagi ke kota Dumai, serta mencari petunjuk letak pasti Rumah Sakit Pertamina.

Kota Dumai yang sangat panas, dan berkabut membuat saya mengeluh, langit benar-benar terasa tinggi kalau berjuang menggapai mimpi. Terik matahari seakan tak bersahabat. Saya harus kuat, balik kampung bukanlah pilihan. Jika ijazah yang saya bawa ini tidak menjanjikan, maka saya sudah bertekad jadi pedagang, sekalipun jadi pedagang kaki lima. (Anton Wijaya/ Bersambung)