Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

September 2002, Kuliah di Akper Pemkab Pariaman

Medianers~ Di papan pengumuman Kampus. Namaku berada pada urut 51, sementara calon mahasiswa baru yang akan di terima berjumlah 50 orang. Posisi 51 sama dengan cadangan satu. Artinya,  masih ada kesempatan, apa bila salah seorang dari 50 orang yang lulus mengundurkan diri.

Aku tidak kecewa, juga tidak bahagia dengan hasil ini. Karena, jurusan Keperawatan bukan pilihanku. Aku ingin memoleskan aneka warna di atas kampas. Ingin sekali meliuk-liukan kuas sesuai aliran imajinasi, agar tebentuk rona abstrak nan indah.

Seni lukis adalah cita-citaku. Buku catatan waktu sekolah, aku hiasi dengan goresan. Teman sekelasku malahan berterima kasih tatkala bajunya di gambari dengan tinta.

Aku tak kuasa menolak keinginan Uda (saudara laki-laki no 4). Ia meminta agar aku mengikuti tes di Akper Pemkab Pariaman. Jika aku lulus, ia yang akan membiayai, termasuk biaya hidup selama kuliah. Uda punya alasan tepat menurutnya, bahwa jadi Perawat, adalah pilihan terbaik untukku. Mengingat, lama pendidikan hanya 3 tahun. Selepas itu, peluang jadi PNS terbuka lebar. Niat Uda juga dikompori oleh mitra dagangnya, Bidan desa, Mantri dan Dokter Puskesmas yang sering beli obat di Toko Obat yang ia kelola.

Keinginan Uda, aku laksanakan dengan ogah-ogahan. Aku tidak punya persiapan menghadapi ujian. Agar aku lebih berpeluang menghadapi serangkain tes, 1 minggu menjelang ujian, Uda memberikan modul ujian masuk perguruan tinggi, modul itu ia dapatkan dari temannya.

Sayangnya, usaha Uda, aku sia-siakan. Ketika mendengar kabar aku tidak lulus, Uda sangat kecewa. Namun, ia masih berharap aku bisa kuliah di jurusan Keperawatan.

“ Aku berminat kuliah di jurusan seni rupa, ingin jadi pelukis terkenal suatu hari nanti.” Uda hanya diam mendengar niatku. Dalam diam, sepupuku berkata, “ Kuliah di jurusan seni rupa agar jadi pelukis terkenal, prospeknya bagus. Tapi, masa depanmu suram.” Sepertinya cita-citaku kurang dapat dukungan.

Lalu kutanyakan, “ Kenapa bisa begitu?”  Sepupuku menjawab. “ Coba perhatikan karya Leonardo Da Vinci, yang terkenal dengan lukisan Monalisa, baguskan? Harga lukisan aslinya sangat mahal. Tidak mudah mengoleksi lukisan itu. Sayang sekali, lukisan yang mahal itu, uangnya tidak bisa dinikmati oleh pelukisnya. Karena, beliau telah meninggal. Jika kamu ingin jadi pelukis, walaupun karyamu bagus, tidak bisa dinikmati, sebab lukisan itu akan bernilai, apa bila pembuatnya telah wafat, dan karyamu akan di museumkan.”

Uda pun menyetujui ocehan sepupuku. Aku tersudut, tidak berkutik, dan tidak mampu berargumentasi, memperjuangkan cita-cita. Aku juga tidak bisa meminta bantuan Amak, sebab Amak tidak mengerti dengan dunia pendidikan. Amak tidak tamat Sekolah Dasar, ia hanya ingin anaknya melanjutkan sekolah setinggi mungkin. Tapi, segala bentuk upaya ia serahkan pada Uda.

Abak, juga demikian, di usianya yang telah renta, tak lagi mengerti pilihan bagus untukku, segala usaha keluarga, dan memimpin keluarga ia serahkan pada Uda.

Satu minggu berlalu, keponakanku yang telah menjalani perkuliahan selama 2 semester di Akper Pemkab Pariaman, pulang ke Sungai-Geringging untuk menemui kami (Uda dan Aku). Ia membawa kabar dari pihak kampus, bahwa “salah satu dari 50 orang yang lulus, telah mengundurkan diri 1 orang.” Apa alasan pengunduran diri tidak dijelaskan.

Berita itu, tentu membuat hangat hati Uda, ternyata peluang belum pupus. Kesempatan lain nihil, menunggu tahun besok untuk ikut tes lagi. Penuh semangat, Uda menyuruhku besok pagi menghadap ke Kampus untuk konfirmasi ulang.

Semalam suntuk berpikir keras. Tidak mungkin membantah keinginan Uda. Dalam niat Uda, juga tertumpu harapan Amak dan Abak, juga saudaraku yang lain. Jika aku menolak untuk mendaftar ulang, maka aku mau kemana? Siapa yang akan membiayai kuliah di jurusan seni rupa? Banyak pertanyaan yang berkelabat di otak, tak mampu ku jawab. Dan, tak sanggup mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan keluarga.

Besoknya, dengan berat hati aku registrasi ulang ke kampus yang terletak di pinggir pantai,  Jl. Syeh Abdul Arief Pasir Ampalu, Kota Pariaman.

Tepat, 9 September 2002, aku resmi jadi mahasiswa Akper Pemkab Pariaman. Pertama kali menggunakan seragam, baju dan celana di dominasi warna putih. (Anton wijaya/*)